BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kabupaten Malang
yang terletak di Propinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan luas wilayah
mencapai 351.456,99 yang
sebagian besar terdiri atas wilayah pemukiman / kawasan terbangun, pertanian,
dan industri. Kepadatan penduduk mencapai 689 jiwa/km2.
Sebagian penduduk Kabupaten Malang bermata pencaharian di bidang industri dan
pertanian (BPN Kab. Malang,
2008).
Dengan semakin berkembangan
penduduk serta kebutuhannya yang pesat di Kabupaten Malang khususnya di Daerah Wagir Desa
Sukodadi memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk
ketersediaan air. Sungai Akir merupakan salah satu sungai di DAS Metro yang
mengalir di Desa Sukodadi Kecamatan Wagir. Ini merupakan suatu potensi Sumber
Daya Air untuk memenuhi berbagai kebutuhan air khususnya untuk irigasi
pertanian.
Sungai merupakan
salah satu sumber alam yang dapat mensuplai air yang dibutuhkan oleh
kepentingan manusia. Kepentingan tersebut mencakup kebutuhan untuk hidup
manusia itu sendiri, di antaranya adalah pemanfaatan air baku dari sungai dan untuk keperluan irigasi
di bidang pertanian. Potensi ketersediaan dan pemanfaatan air pada Sungai Akir
(Neraca Air) sangat penting untuk diketahui dimana sejauh ini data morfometri
tentang potensi ketersediaan air tersebut masih belum lengkap.
Berdasarkan hasil
studi terdahulu, muncul salah satu isu pokok mengenai konflik pemakaian air di
Desa Sukodadi Kecamatan Wagir Kabupaten Malang antara pihak Dinas Pengairan
selaku pengelola Jaringan Irigasi di sepanjang jaringan irigasi Sungai Akir
dengan masyarakat pengguna air sungai lainnya dimana pihak pengelola menghimbau
bahwa air sungai yang berada di sepanjang DI Akir digunakan sepenuhnya untuk
keperluan irigasi pertanian, namun sebagian penduduk menggunakannya sebagai
perikanan dan peternakan (Dinas Pengairan Kab. Malang).
Pihak Dinas
Pengairan Kabupaten Malang selaku pengelola DI Sungai Akir masih mengalami
kesulitan dalam memprediksi ketersediaan air untuk wilayah yang akan di airi. Dikarenakan
belum tersedianya data tentang kuantitas dan kualitas Sumber Daya Air di Desa
Sukodadi yang memadai sehingga diperlukan adanya semacam studi atau penelitian
mengenai ketersediaan termasuk penggunaan dan kondisi lingkungan Sungai Akir yang
termasuk dalam permasalahan utama Sumber Daya Air Sungai Akir itu sendiri.
Analisa ini sangat diperlukan sebagai data acuan untuk pola pengelolaan dari
Sumber Daya Air yang optimal dan efisien yang dapat menghasilkan keuntungan
secara umum dan khususnya bagi masyarakat sekitar sungai tersebut. Tingkat
ketersediaan air haruslah lebih besar daripada tingkat pemanfaatannya karena
jika lebih kecil tingkat ketersediaan tersebut maka berpotensi menimbulkan
konflik, seperti kasus yang telah di jelaskan di atas.
Walaupun ketersediaan air permukaan dari waktu
ke waktu relatif tetap sesuai dengan siklus hidrologi, namun keadaan dan sifat
kualitasnya dapat membatasi pemakaian dan pemanfaatan. Di samping itu,
kebutuhan air di Desa Sukodadi pada saat ini dan pada masa yang mendatang akan
terus meningkat sementara ketersediaan air permukaan dan air tanah relatif
tetap bahkan mungkin dapat berkurang.
Untuk menanggulangi masalah ini, maka
perlu ditempuh suatu upaya secara koordinatif untuk melakukan inventarisasi
seluruh potensi ketersediaan air yang selanjutnya disusun dalam bentuk sistem
informasi sehingga estimasi kecukupan potensi air bersih suatu wilayah
pengembangan dapat dilakukan secara lebih akurat dan representatif. Selain itu
sistem informasi ini juga merupakan alat pengontrol atau pengendali dalam
pengelolaan air dalam jangka panjang.
Pada umumnya, perkiraan ketersediaan air
dilakukan berdasarkan pencatatan data debit aliran di sungai yang
berkesinambungan dan panjang. Akan tetapi, di Indonesia pada umumnya data yang
berkesinambungan dan panjang adalah data hujan, sedangkan data debit aliran
sungai tidaklah panjang.
Belum tersedianya data debit di suatu
wilayah sungai merupakan salah satu kendala yang sering di jumpai. Untuk maksud
pengembangan sumber daya air di suatu wilayah, maka ketersediaan data yang
lengkap sangat diperlukan, tetapi dengan adanya keterbatasan data yang ada,
maka diperlukan model – model hidrologi untuk mengalih ragamkan data hujan
menjadi data debit aliran.
Salah satu model hujan aliran yang
relatif lebih sederhana dan telah dikembangkan di Indonesia adalah model F.J. Mock. Model tersebut banyak
diterapkan untuk memprediksi data aliran, terutama untuk interval waktu yang
cukup panjang (Nurrochman dkk., 1998). Penggunaan dan penerapan model ini akan
di kaji pada daerah tangkapan air Bendung Akir Desa Sukodadi Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang.
1.2.Batasan Studi
Pembahasan Laporan Praktik Kerja ini dititik beratkan pada pola
simulasi debit dengan model F.J. Mock pada daerah tangkapan air Bendung Akir
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.
Untuk mempersempit ruang lingkup bahasan, maka permasalahan
dibatasi sebagai berikut :
1. Data yang dipakai untuk analisa adalah data yang
diperoleh dari curah hujan daerah selama satu tahun (tahun 2007).
2. Ketersediaan debit sungai yang dimaksud dalam
pembahasan laporan ini adalah debit yang mengacu pada siklus hidrologi.
3. Debit sungai yang diperoleh dari analisa adalah
debit aliran sungai selama kurun waktu satu tahun (tahun 2007).
4. Tidak membahas tentang pemanfaatan kebutuhan air di
lokasi studi.
1.3.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah :
1.
Berapakah besarnya parameter – parameter metode F.J. Mock untuk daerah tangkapan air
Bendung Akir ?
2.
Berapakah tingkat validitas penerapan model F.J. Mock di daerah tangkapan air
Bendung Akir ?
3.
Berapakah besarnya debit aliran sungai dan
komponen neraca air lahan lainnya di Daerah tangkapan air Bendung Akir
berdasarkan pendugaan dengan model F.J.
Mock ?
1.4.Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini, antara lain :
1.
Mengkaji penerapan Model F.J. Mock dalam menduga
ketersediaan air pada daerah tangkapan air Bendung Akir Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang.
2.
Mengetahui parameter – parameter yang
berpengaruh dalam model F.J. Mock untuk menghitung debit sungai.
3.
Mengetahui besarnya debit aliran sungai yang
mengalir di DAS Akir Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.
Sedangkan manfaat dari penulisan laporan ini, antara lain :
1.
Memberikan wacana dan pengetahuan tentang
penerapan model F.J. Mock yang
digunakan sebagai sarana memproses data hujan menjadi data debit.
2.
Dapat mengetahui aplikasi dari model F.J. Mock
di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siklus Hidrologi dan Neraca
Air
Pada bumi kita terdapat kira-kira sejumlah 1,3 - 1,4 milyard km3
air : 97,5% adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada di daratan
sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 %
berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus-menerus sirkulasi
penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow) yang dikenal
dengan siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah gerakan air laut ke udara,
yang kemudian jatuh kepermukaan tanah sebagai hujan atau bentuk presipitasi
yang lain dan akhirnya mengalir ke laut kembali (http//:www.php2.com).
Gambar 2.1. Skema Siklus
Hidrologi (Sumber : http//:www.php2.com)
Di alam, air mengalami siklus yang disebut siklus air. Hujan (P) turun ke bumi. Sebagian air itu
langsung menguap (E), sebagian
mengalir diatas permukaan (Q) sebagai
danau, sungai dan laut. Air sungai, danau dan laut mengalami penguapan (E). Sebagian lagi meresap kedalam tanah
dan menjadi air simpanan (S). Air itu
ada yang meresap oleh tumbuhan dan menguap (Et),
ada pula yang keluar sebagai mata air dan mengalir sebagai air.
Siklus hidrologi seperti yang di uraikan tersebut merupakan siklus yang
menerus dan tidak akan pernah terputus, meskipun tidak selalu mengikuti siklus
yang lengkap. Masing – masing unsur aliran dipengaruhi dan mempengaruhi unsur
lainnya, dan tergantung dari faktor – faktor tertentu yang bersifat khas. Jenis
faktor dan perannya dalam masing – masing unsur aliran akan di bahas secara
mendalam di bagian masing – masing (Sri Harto Br, 2000).
Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air
yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistem (sub sistem)
tertentu. Secara umum, persamaan neraca air di rumuskan
sebagai berikut (Sri Harto Br, 2000).
I = O DS
(2-1)
di mana :
I =
masukan (inflow)
O =
keluaran (outflow)
DS = perubahan tampungan
Yang dimaksud dengan
masukan adalah semua air yang masuk ke dalam sistem, sedangkan keluaran adalah
semua air yang keluar dari sistem. Perubahan tampungan adalah perbedaan antara
jumlah semua kandungan air (dalam berbagai sub sistem) dalam satu unit waktu
yang di tinjau, yaitu antara waktu terjadinya masukan dan waktu terjadinya
keluaran. Persamaan ini tidak dapat di pisahkan dari konsep dasar yang lainnya
(siklus hidrologi) karena pada hakikatnya, masukan ke dalam sub sistem yang
ada, adalah keluaran dari sub sistem
yang lain dalam siklus tersebut (Sri Harto Br, 2000).
Neraca air merupakan
hubungan antara masukan air total dan keluaran air total yang terjadi pada
suatu DAS yang di dalamnya terkandung komponen – komponen seperti debit aliran
sungai, curah hujan, evapotranspirasi, perkolasi, kelembaban tanah. Semakin
besar evapotranspirasi, semakin kecil debit aliran sungai. Evapotranspirasi di
pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain iklim dan jenis vegetasi. Iklim
tidak dapat di modifikasi oleh manusia, sehingga faktor jenis vegetasi inilah
yang menjadi perhatian dalam pengelolaan sumber daya air (Asdak, 2002).
Persamaan neraca air
dengan mengansumsikan bahwa aliran air bawah permukaan yang masuk sama dengan
yang keluar, dan panjang akar tanaman berada jauh di atas permukaan air tanah,
dapat di tulis sebagai berikut (Asdak, 2002).
Q = P – ET - L (2-2)
di mana :
Q =
debit aliran (m3/dt)
P =
curah hujan (mm/tahun)
ET = evapotranspirasi (mm/bulan)
L = perkolasi (mm/Dt)
DS = kelembaban tanah (mm) mewakili satuan volume per
satuan wilayah
Dt = periode waktu yang di perlukan untuk perhitungan (jam,
hari, bulan)
Nilai positp menunjukkan
penambahan kelembaban tanah, sementara menunjukkan penurunan kelembaban tanah
di tempat yang bersangkutan.
Perhitungan neraca air
untuk suatu daerah tertentu yang terbatas, dapat di lakukan dengan menggunakan
persamaan (Sosrodarsono dan Takeda, 1987) :
P = (D2 – D1) + E + (G2 – G1) + H.Pa
+ M (2-3)
di mana :
D1 =
debit aliran (m3/dt)
D2 =
curah hujan (mm/tahun)
E = evapotranspirasi (mm/bulan)
G1 = perkolasi (mm/Dt)
G2 = kelembaban tanah (mm) mewakili satuan
volume per satuan wilayah
H
= periode waktu yang di perlukan untuk
perhitungan (jam, hari, bulan)
Pa = laju menahan
udara rata – rata di bagian lapisan variasi air tanah
M = penambahan kadar kelembaban tanah
Brooks, et al. (1992) menuliskan
persamaan neraca air yang dapat di gunakan untuk memperkirakan besarnya
evapotranspirasi. Dalam hal ini dinyatakan bahwa evapotranspirasi mempengaruhi
hasil air, sebagian besar menentukan proporsi input curah hujan pada suatu DAS
yang menjadi aliran sungai . Evapotranspirasi di pengaruhi oleh hutan, jarak,
dan usaha – usaha pertanian yang mengubah vegetasi. Persamaan neraca air yang
di gunakan adalah :
ET = P – Q - DS - Dt (2-4)
di mana :
ET = evapotranspirasi
(mm)
P = curah hujan pada
periode waktu tertentu (mm)
Q = aliran sungai (mm)
DS =
perubahan tampungan DAS (mm)
= S1 – S2
di mana :
S1 = tampungan awal pada suatu periode
waktu tertentu (mm)
S2 = tampungan akhir pada suatu periode
waktu tertentu (mm)
Dt =
perubahan ketebalan rembesan (mm)
= lo – l1
di mana :
lo = rembesan yang keluar DAS (mm)
l1 = rembesan yang kedalam DAS (mm)
Neraca air di sebuah DAS
yang berhutan dapat di gambarkan dengan persamaan sebagai berikut (www.library.usu.ac.id)
Pg = (T + Ic + Et + Es + w) + Q + DS L + U (2-5)
di mana :
Pg = curah hujan kasar
Ic = Intersepsi tajuk
Et = evapotranspirasi total
DS =
perubahan kadar air tanah
Es + w = evaporasi dari permukaan
tanah dan air
L = kebocoran ke dalam dan ke luar DAS
T = transpirasi
U = aliran sungai bawah tanah
Q = aliran sungai
Pada beberapa DAS, komponen evapotranspirasi pada neraca air bisa di atas
90% dari curah hujan. Perubahan vegetasi yang menurunkan evapotranspirasi
tahunan akan mengakibatkan peningkatan aliran sungai atau pengisian air tanah.
Dari sejumlah pendapat
yang dikemukakan di atas, dapat di simpulkan bahwa prinsip analisis neraca air
adalah menghitung masukan dan keluaran pada suatu sistem (DAS) yang di kaji. Dalam studi kali ini, di
lakukan kajian terhadap penggunaan Model F.J.
Mock sebagai suatu konsep yang dapat
memberikan keluaran dari sistem DAS berikut hubungan antar komponen dan
perubahannya.
2.2. Teknik Evaluasi DAS
Secara umum Daerah Aliran
Sungai (DAS) di definisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh alam,
seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan
atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberikan
kontribusi aliran ke satu titik kontrol (outlet)
(Suripin, 2001)
Daerah aliran sungai dapat
dianggap sebagai suatu ekosistem, dimana di dalamnya terjadi interaksi antara
faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka
setiap ada masukan (input) ke
dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran (output) dari
ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan,
sedangkan komponen keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen, sehingga
DAS menjadi dasar dari semua perencanaan hidrologi (Suripin, 2001).
Aktivitas suatu komponen
ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia
adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia
dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu
komponen lingkungan, dan dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem secara
keseluruhan. Maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen
lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain. Pengaruh atau
interaksi manusia pada suatu DAS yang tercakup dalam pengelolaan tanaman dan
praktek konservasi tanah, akan sangat mempengaruhi proses terjadinya erosi atau
sebaliknya (Suripin, 2001).
Gambar 2.2. Komponen-komponen sistem
DAS hulu (Sumber : Suripin, 2001)
Sebagai suatu sistem, dengan adanya masukan
ke dalam sistem (DAS) dapat di evaluasi proses yang telah dan sedang
berlangsung dengan melihat keluaran dari sistem. Secara hidrologis, suatu
pengelolaan DAS dapat dikatakan telah memberikan suatu dampak yang positif
(kondisi DAS membaik) apabila parameter – parameter hidrologi yang di amati
pada outlet dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan sebagai berikut (Siswoyo,
Lelono dan Parnomo, 2004) :
1.
Perbandingan antara debit maksimum bulanan
(Qn) dengan debit minimum nulanan (Qmin) dalam satu tahun
menunjukkan kecenderungan menurun
2.
Unsur utama hidrograf aliran sungai
menunjukkan time to peak dan time base semakin lama, dan peak discharge semakin
menurun
3.
Volume base flow dan koefisien resesi semakin
meningkat
4.
Koefisien run off sesaat tahunan menurun
5.
Muatan sedimen (sedimen load) yang merupakan jumlah seluruh muatan yang terdiri
dari muatan dasar (bed load), muatan
suspensi (suspended load), dan
padatan terlarut (dissolved solid)
menunjukkan kecenderungan menurun
6.
Kandungan unsur kimia dan hara di dalam
perairan sungai merupakan hasil proses hiogeokimia di dalam DAS menunjukkan
kecenderungan menurun.
Evaluasi kondisi DAS dengan menggunakan
teknik di atas mempunyai keunggulan dapat menjelaskan secara kuantitatif,
karena dihasilkan dari suatu pengukuran langsung. Pemantauan dengan cara ini
dapat di lakukan bila suatu DAS / sub DAS telah terinstrumentasi dengan baik (well instrumented catchment). Apabila DAS / sub DAS tidak terinstrumentasi dengan baik, maka dapat
digunakan pendekatan pemodelan hidrologi. Karena dengan model tersebut dapat
dilakukan evaluasi dan simulasi terhadap dampak hidrologi dan berbagai skenario
perubahan – perubahan lingkungan yang mungkin terjadi dengan cepat, baik alami
maupun dengan bantuan manusia.
2.2 Analisis Curah Hujan
2.2.1 Analisis Curah Hujan Titik (Point Rainfall)
Hujan titik (point rainfall) adalah analisa curah
hujan terpusat yang datanya diperoleh dengan alat pengukur hujan (rain gauge). Data tersebut masih
merupakan data kasar / data mentah yang tidak dapat langsung dipakai dan harus
diolah sesuai dengan kebutuhan, selain itu data yang satu dengan yang lain
tidak saling bergantungan sehingga proses pengolahannya menggunakan metode
statistik.
Data curah hujan bisa
didapatkan dengan melakukan pengukuran antara lain :
a)
Besarnya curah hujan per jam
b)
Jumlah hujan per hari dan lamanya
c)
Jumlah hari hujan per bulan
d)
Jumlah curah hujan per tahun
e)
Besarnya hujan harian maksimum dalam satu
tahun selama periode pengamatan tertentu.
2.2.2 Analisis Curah Hujan Daerah
Untuk mendapatkan gambaran mengenai
penyebaran hujan di seluruh daerah, di beberapa tempat tersebar pada DAS
dipasang alat penakar hujan. Pada daerah aliran kecil kemungkinan hujan terjadi
merata di seluruh daerah, tetapi tidak demikian pada daerah aliran yang besar,
hujan di berbagai tempat pada DAS yang besar tidak sama, sedangkan pos-pos
penakar hujan hanya mencatat hujan di suatu titik tertentu. Dengan demikian
akan sulit untuk menentukan berapa hujan yang turun di seluruh areal serta
sulit pula untuk menentukan hubungan antara besarnya debit banjir dan curah
hujan yang mengakibatkan banjir tersebut.
Ada tiga macam
cara yang digunakan untuk menentukan tinggi curah hujan rata-rata diatas areal
tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau
pencatat, yaitu (Suripin, 2001):
a. Metode rata-rata aljabar
Gambar 2.3 Hujan Rata-rata
untuk Metode Rata-rata Aljabar
(Sumber : Suripin, 2001)
Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dalam
perhitungan hujan kawasan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua
penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan
dengan topografi rata atau datar, alat penakar tersebar merata/hampir merata
dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya.
Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :
(2-6)
Dimana P
adalah curah hujan rata-rata daerah (mm), n adalah banyaknya pos penakar hujan
dan P1, P2, …, Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan.
b. Metode Thiessen
Gambar 2.4 Hujan Rata-rata
untuk Metode Poligon Thiessen
(Sumber : Suripin, 2001)
Metode ini juga dikenal sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini memberikan
proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan
garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar
terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya
adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan
terdekat.
P = (2-7)
Dimana P adalah curah hujan rata-rata daerah (mm). P1,P2, …, Pn
adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, …n. A1,A2, …, An
adalah luas areal poligon 1,
2, …n. Dimana n adalah banyaknya pos penakar hujan.
c. Metode garis Isohiet
Gambar 2.5 Hujan Rata-rata
untuk Metode Isohiet
(Sumber : Suripin, 2001)
Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan
rata-rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan
secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan, dengan kata lain mengkoreksi
asumsi metode Thiessen yang menganggap
bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah
sekitarnya dapat dikoreksi.
Untuk menghitung hujan rata-rata DAS dengan persamaan berikut :
P = (2-8)
Cara Memilih Metode
Selain berdasarkan stasiun pengamatan, curah hujan daerah dapat dihitung
dengan parameter luas daerah tinjauan sebagai berikut :
a.
Untuk
daerah tinjauan dengan luas 250 ha dengan variasi topografi kecil dapat
diwakili oleh sebuah stasiun pengamatan.
b.
Untuk daerah tinjauan dengan luas 250-50.000
ha yang memiliki 2 atau 3 stasiun pengamatan dapat menggunakan metode rata-rata
aljabar.
c.
Untuk
daerah tinjauan dengan luas 120.000-500.000 ha yang memiliki beberapa stasiun
pengamatan tersebar cukup merata dapat menggunakan metode rata-rata aljabar,
tetapi jika stasiun pengamatan tersebar tidak merata dapat menggunakan metode
Thiessen.
d.
Untuk daerah tinjauan dengan luas lebih dari
500.000 ha menggunakan metode Isohiet
atau metode potongan antara.
Sedangkan dari Suripin (2004: 31), lepas dari kelebihan
dan kelemahan ketiga metode yang tesebut diatas, pemilihan metode yang cocok
dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan dengan pertimbangan tiga faktor berikut
:
1. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS
Jumlah pos penakar
hujan cukup
|
Metode isohyet, Thiessen
atau rata-rata aljabar dapat dipakai
|
Jumlah pos penakar hujan terbatas
|
Metode rata-rata aljabar atau Thiessen
|
Pos penakar hujan tunggal
|
Metode hujan titik
|
2. Luas DAS
DAS besar (>
5000 km2)
|
Metode isohyet
|
DAS sedang (500 s/d 5000 km2)
|
Metode Thiessen
|
DAS kecil (< 500 km2)
|
Metode rata-rata aljabar
|
3. Topografi DAS
Pegunungan
|
Metode rata-rata
aljabar
|
Dataran
|
Metode Thiessen
|
Berbukit dan tidak beraturan
|
Metode Isohyet
|
Pada studi kali ini cukup digunakan Metode hujan titik karena hanya satu
stasiun hujan saja yang berpengaruh pada daerah tangkapan air Bendung Akir
yaitu Stasiun Hujan Wagir.
2.3 Evapotranspirasi
Peristiwa berubahnya
air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan air disebut evaporasi
(penguapan). Peristiwa penguapan dari tanaman disebut transpirasi. Jika
kedua proses tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan disebut evapotranspirasi.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu, air, kelembaban udara, kecepatan
angin, tekanan udara, sinar matahari, dan lain-lainnya. Pada waktu pengukuran
perlu diperhatikan keadaan tersebut karena saling berhubungan antara satu
dengan yang lain dan mengingat faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh
lingkungan.
Karena kondisi yang
berubah dari waktu ke waktu, maka harus diakui bahwa perkiraan evapotranspirasi
yang menggunakan harga yang hanya diukur pada sebagian daerah adalah sulit dan
sangat menyimpang. Jika evaporasi pada suatu daerah meningkat, maka transpirasi
akan menurun, begitu juga jika sebaliknya jika evaporasi menurun maka
transpirasi meningkat. Oleh karena itu komponen E dan T tidak bisa diukur
secara terpisah, sehingga kombinasi ET destimasi dengan keseimbangan air tanah
atau metode keseimbangan energi di atas tanah.
2.3.1 Evapotranspirasi Potensial
(ETp)
Evapotranspirasi yang
mungkin terjadi pada kondisi air tersedia berlebih disebut evapotransprasii
potensial. Meskipun demikian kondisi air yang berlebih sering tidak
terjadi.
Dalam studi kali ini, perhitungan besarnya evapotranspirasi
potensial dipakai rumus empiris menggunakan metode Pennman Modifikasi, Blaney Criddle, dan, Radiasi.
2.3.1.1 Evapotranspirasi Cara Penmann
Air dalam tanah juga
dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa ini disebut
evapotranspirasi. Banyaknya berbeda-beda,
tergantung dari kadar kelembaban tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya
banyak transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan satu gram bahan kering
disebut laju transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab,
banyaknya kira-kira 200-600 gram. Dan untuk daerah kering kira-kira dua kali
sebanyak itu.
Transpirasi dan
evaporasi dari permukaaan tanah bersama-sama disebut evapotranspirasi atau
kebutuhan air (consumtive use). Jika air yang tersedia pada tanah cukup
banyak, maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial. Mengingat
faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi itu lebih banyak dan lebih
sulit daripada faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi maka banyaknya
evapotranspirasi tidak dapat diperkirakan dengan teliti. Akan tetapi
evapotranspirasi adalah faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam
rencana irigasi dan merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi. Oleh
sebab itu, maka telah banyak jenis cara penentuan yang telah diadakan antara
lain dengan menggunakan rumus Lysimetre, cara perkiraan dengan banyaknya
evaporasi dan panci evaporasi, dan lain-lain.
Dalam studi ini perhitungan besarnya evaporasi dipakai rumus empiris
Pennman sebagai berikut :
ETp = F1 . R (1 - r) – F2 (0,1 +
0,9 S) + F3 (K + 0,01 w) (2-9)
Di mana F1, F2,
F3 merupakan konstanta yang di cari dengan persamaan :
F1 =
(2-10)
F2 =
(2-11)
F3 =
(2-12)
Keterangan :
ETp = evapotranspirasi
potensial (mm/hari)
A = slope tekanan uap air
berdasarkan nilai temperatur (Hg/oF)
B = radiasi benda hitam berdasarkan nilai
temperatur (Hg/oF)
ea = tekanan uap jenuh dengan
tekanan uap yang sebenarnya (mm Hg)
ed = tekanan uap jenuh aktual
(mm Hg)
= ea x h
h = kelembaban relatif (%)
S = rasio penyinaran matahari
(%)
R = radiasi gelombang
pendek yang memenuhi
batas luar atmosfir
atau angka angot (mm/hari)
r = koefisien refleksi
K = koefisien kekasaran
evaporasi permukaan (1,0)
w = kecepatan angin (mil/hari)
Data
terukur yang diperlukan adalah :
-
t
= suhu bulanan rata-rata (oC)
-
h
= kelembaban relatif bulanan rata-rata (%)
-
S
= kecerahan matahari bulanan (%)
-
w
= kecepatan angin bulanan rata-rata (m/dt)
-
Letak lintang daerah yang ditinjau
2.3.1.2 Evapotranspirasi Cara Blaney-Criddle
Rumus ini menghasilkan evapotranspirasi untuk sembarang tanaman sebagai
fungsi suhu jumlah jam siang hari dan koefisien tanaman empiris. Rumus
ini berlaku untuk daerah yang luas dengan iklim kering dan sedang. Dalam
pemakaian rumus ini perlu memasukkan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan,
dan waktu relatif sinar matahari. Data tersebut merupakan data-data
meteoriologi biasa. Radiasi matahari dapat diukur dengan radiometer.
U = k x f (2-13)
Dimana :
U = evaporasi
bulanan
T = suhu udara
rata-rata bulanan
k = koefisien
tanaman bulanan
Keuntungan dari penggunaan rumus ini
adalah kesederhanaan perhitungannya, meskipun belum diketahui apakah cara ini
dapat dipergunakan untuk semua tempat. Tetapi cara ini dapat digunakan untuk
perkiraan evapotranspirasi jangka waktu yang panjang.
Rumus tersebut dapat dimodifikasi
lagi menjadi :
U
= [] (2-14)
K =
Kt x Kc (2-15)
Kt = 0,0311 t + 0,240 (2-16)
Dimana:
U = banyaknya
transpirasi bulanan.
t = suhu
rata-rata bulanan.
Kc = koefisien
tanaman bulanan.
P = prosentase
jam siang bulanan dalam setahun.
2.3.1.3 Evapotranspirasi
Cara Radiasi
Rumus radiasi menggunakan pendekatan
perhitungan banyaknya radiasi gelombang pendek yang diterima bumi dalam
perhitungan ETo. Besar evapotranspirasi potensial ETo dalam pendekatan ini di
hitung dengan rumus (Suhardjono, 1994) :
(2-17)
(2-18)
(2-19)
di mana :
W =
faktor pengaruh suhu dan elevasi ketinggian daerah
Rs =
radiasi gelombang pendek yang diterima bumi (mm/hari)
n/N = kecerahan matahari (%)
Ra = radiasi gelombang pendek
yang memenuhi batas luar atmosfer, tergantung
letak lintang daerah.
2.3.2 Evapotranspirasi Aktual (ETa)
Evapotranspirasi tetap terjadi dalam kondisi
air tidak berlebih meskipun tidak sebesar evaporasi potensial. Evaporasi ini
disebut evapotranspirasi aktual.
Selain itu juga dikenal evapotranspirasi terbatas yaitu evapotranspirasi
aktual dengan mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta
frekuensi curah hujan (Mock, 1973). Hubungan dari tersebut dapat dilihat pada
persamaan berikut :
E = ETp
. (d/30) . m
(2-20)
dimana,
E =
Perbedaan antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas
ETp = Evapotranspirasi potensial
d = Jumlah
hari kering atau tanpa hujan dalam 1 bulan
m = Prosentase lahan yang tertutup vegetasi, ditaksir dari
peta tata guna lahan dan
diambil,
m = 0 untuk
lahan dengan hutan lebat.
m = 0 untuk lahan dengan hutan sekunder pada
akhir musim hujan dan bertambah 10 % setiap bulan kering berikutnya.
m = 10 – 40 % untuk lahan yang tererosi.
m = 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah
(misal : sawah, ladang).
Berdasarkan frekuensi curah hujan dan Indonesia dan sifat
infiltrasi serta penguapan dari tanah permukaan, didapatkan hubungan :
d = 3/2 . (18 - n) atau d = 27 – 3/2h (2-21)
n = Jumlah hari hujan dalam
sebulan
Substitusi dari persamaan (2-4) ke (2-3) didapatkan
E/ETp=
(m/20) . (18 – h) (2-22)
ETa = ETp
- E
(2-23)
ETa = Evapotranspirasi aktual
2.4.Pendugaan Ketersediaan Air Dengan Metode F.J. Mock
F.J. Mock pada tahun 1973
mengusulkan suatu model simulasi keseimbangan air bulanan untuk daerah pengaliran
di Indonesia. Model perhitungan ini didapat dari hujan,
evapotranspirasi, tanah dan tampungan air tanah.
Model ini diterangkan dalam makalahnya Guideline
PSA 001 sebagai suatu pendekatan perkiraan debit bulanan. Buku pedoman ini
menekankan bahwa, tidak ada debit bangkitan yang dapat dipercaya, sampai debit
tersebut dikalibrasi dengan debit penga matan. Model Mock ini juga disarankan didalam Standar Perencanaan Irigasi
KP-01, tetapi tanpa uraian lebih lanjut bagaimana cara menggunakannya. Cara Mock ini cukup sederhana dalam
perhitungannya dan terbukti sangat populer dikalangan konsultan Indonesia.
Sangat banyak contoh perhitungan yang salah, karena para pengguna tidak
mempelajari acuan yang asli, akan tetapi mengikuti studi kasus yang telah ada.
Juga banyak para pengguna tidak biasa memperhatikan atau mencoba pilihan
parameter yang ada. Hal ini terbukti dari banyaknya parameter yang digunakan
diambil secara langsung dari studi kasus yang telah ada tanpa mengadakan
pengecekan lebih lanjut pada pengguna annya. Kesalahan umum yang lain yang
terjadi adalah tidak cukupnya data hujan dalam satu tahun secara berurutan
dalam tenggang waktu tertentu.
Mock (1973) menjelaskan metode untuk menduga debit
aliran sungai dengan tahapan - tahapan sebagai berikut :
Rumus untuk menghitung aliran permukaan
terdiri dari :
1.
Evapotranspirasi Terbatas (Limited Evapotranspiration)
DS = P – ETp (2-24)
E/ETp=
(m/20) . (18 – n) (2-25)
E = Etp . (m/20) . (18-h) ETt (2-26)
ETa = ETp – E (2-27)
2.
Keseimbangan Air (Water Balance)
WS = P – SS (DS ) (2-28)
SS = SMCn – SMCn–1
(2-29)
SMCn= SMCn-1
+ P1 (2-30)
3.
Neraca air di bawah permukaan
dVn = Vn – Vn-1 WS (2-31)
I = i . WS
dVn (2-32)
Vn =
1/2 . (1 + k) . I + k . Vn-1 (2-33)
4.
Aliran permukaan
Ro = BF + DRo (2-34)
BF = 1 – dVn (2-35)
DRo = WS – I (2-36)
Keterangan :
DS = Hujan netto
(mm)
P = Hujan (mm)
ETp =
Evapotranspirasi potensial (mm)
ETa =
Evapotranspirai terbatas (mm)
WS =
Kelebihan air (mm)
SS = Kandungan
air tanah (mm)
SMC =
Kelembaban tanah (mm)
dV =
Perubahan kandungan air tanah (mm)
V = Kandungan
air tanah (mm)
I = Laju infiltrasi (mm/dt)
i = Koefisien infiltrasi (<1)
k = Koefisien resesi aliran air tanah
(<1)
DRo = Aliran langsung (mm)
BF = Aliran air tanah (mm)
Ro =
Aliran permukaan (mm)
n =
Jumlah hari kalender dalam 1 bulan
m =
Bobot lahan yang tidak tertutup vegetasi (0 < m < 50 %)
2.5.Parameter Model F.J. Mock
Model F.J.Mock
memiliki lima parameter yang menggambarkan karakteristik DAS, meliputi :
1.
Singkapan lahan
Singkapan lahan disesuaikan
dengan penggunaan tata guna lahan. Prosentase singkapan lahan ini berpengaruh
terhadap evapotranspirasi aktual yang terjadi yang membedakan dengan
evapotranspirasi potensial.
2.
Koefisien Infiltrasi
Infiltrasi adalah gerakan air dari atas ke
dalam permukaan tanah. Gerakan air ini disebabkan antara lain oleh berat
sendiri, rekahan tanah (celah tanah) yang cukup dan tingkat kejenuhan dari
tanah tersebut. Koefisien infiltrasi (i)
ditentukan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang porous maka infiltrasi akan besar,
lahan yang terjal dimana air tidak sempat infiltrasi ke dalam tanah maka
koefisien infiltrasi kecil. Besarnya koefisien infiltrasi lebih kecil dari 1.
3.
Kapasitas kelembaban tanah
Kapasitas kelembaban tanah (Soil Moisture Capacity) ditaksir
berdasarkan kodisi porositas lapisan tanah atas, biasanya ditaksir antara 50 mm
– 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air dalam tanah per
m2. Jika porositas tanah lapisan atas tersebut makin besar, maka Soil Moisture Capacity makin besar pula.
4.
Penyimpanan awal
Penyimpanan awal (initial storage) adalah besarnya volume
air pada saat awal perhitungan. Ditaksir sesuai dengan
keadaan musim, seandainya bisa sama dengan
Soil Moisture Capacity dan lebih kecil daripada musim kemarau.
5.
Faktor resesi air tanah
Dalam perhitungan kandungan
air tanah (Ground Water Storage)
terdapat faktor resesi aliran air tanah (k),
yaitu perbandingan air tanah pada suatu bulan dengan aliran air tanah pada awal
bulan.
Rumus – rumus storage air tanah :
Vn = k .
Vn-1 + ½ (1+k). In (2-37)
Dimana,
Vn = Volume air tanah
k = qt/qo = Faktor resesi aliran air
tanah
qt = Aliran air tanah pada
periode ke t
qo = Aliran air tanah pada
awal periode ke t
dVn = Vn – Vn-1
Vn = Volume air tanah bulan ke
n
Vn-1 = Volume air tanah bulan ke n – 1
Pendugaan nilai parameter
dengan menggunakan rumus pada sub bab 2.4 berhenti dengan tolok ukur berikut.
-
KAR (Kesalahan Absolut Rerata) tidak bisa lebih kecil lagi
-
Jumlah titik (bulan) yang mempunyai KAR > 25% paling sedikit
-
Kesalahan Absolut Maksimum paling kecil
-
Kedekatan gambar debit antara perhitungan (Q mod) dan pengamatan
(Q obs)
Kesalahan Absolut
Rerata dirumuskan pada persamaan berikut. (Adidarma dan Mulyantari, 2003).
(2-38)
dengan:
KAR = kesalahan absolut rerata
n = jumlah data (bulan)
i = bulan ke-i
Qobs = debit pengamatan
Qcom = debit perhitungan
Gambar 2.7 Diagram
alir pendugaan debit aliran sungai Model F.J. Mock
BAB III
KAJIAN
DAERAH STUDI
3.1.
Lokasi Studi
Studi ini dilaksanakan di DAS Metro di daerah tangkapan
air Bendung Akir. Secara administratif, lokasi studi terletak di Desa Sukodadi,
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 112o 34’ 32,8” LS dan 8o
00’25,9” BT. Berdasarkan hasil interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia dapat
diketahui bahwa luas Sungai Akir mencapai 5,21 km2. Berdasarkan
hasil survei data hidrologi, lokasi daerah studi dipengaruhi oleh Stasiun Hujan
Wagir yang terletak antara 112o 35’ 37” LS dan 8o 00’ 44”
BT.
|
Gambar 3.1 Lokasi studi di
lihat dari peta administrasi
Berdasarkan hasil survei wawancara dengan penduduk
setempat, daerah Wagir merupakan salah satu daerah kering artinya bahwa daerah
ini cukup sulit mendapatkan pasokan air terutama air baku dengan kualitas yang
baik.
3.2.
Waktu Studi
Studi ini direncanakan berlangsung dalam kurun waktu 2 bulan, terhitung
mulai 20 Mei sampai 20 Juli 2008, namun penulis berhasil menyelesaikan laporan
studinya selama kurang dari satu bulan dengan rincian pekerjaan pencarian data
dilakukan selama 1 minggu terhitung mulai tanggal 20 Mei sampai 26 Mei 2008,
pengerjaan pengolahan data di mulai pada tanggal 26 Mei 2008 sampai 1 Juni
2008. Laporan studi diselesaikan pada tanggal 14 Juni 2008.
3.3.
Data
Untuk Studi
Untuk menganalisa debit aliran yang tersedia di lokasi,
data yang diperlukan untuk studi kali ini antara lain :
1.
Data curah hujan harian, dalam studi kali ini
dipakai data dari Stasiun Hujan Wagir (112o 35’ 37” LS dan 8o
00’ 44” BT) tahun 2007 yang di peroleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Malang.
2.
Data klimatologi yang terdiri dari data
temperatur udara, kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran matahari. Data –
data tersebut diperoleh dari Stasiun BMG Klimatologi Karangploso selam 10 tahun
terakhir (1997 – 2006).
3.
Peta Rupa Bumi 1 : 25.000 yang diperoleh dari
BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional).
4.
Data debit observasi aliran sungai di Bendung
Akir tahun 2007.
3.4.
Tahapan Studi
Analisa debit aliran dengan menggunakan model F.J. Mock di DAS Akir Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang melalui beberapa tahapan, antara lain :
1.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan survei lapangan yaitu mengamati
kondisi lapangan . Pengamatan yang dilakukan mempunyai tujuan antara lain :
-
Mencari koordinat posisi dari Bendung Akir
dan stasiun yang berpengaruh (Stasiun Hujan Wagir) dengan alat pendeteksi
posisi koordinat di bumi yaitu dengan alat GPS.
-
Mengukur kecepatan air di lokasi dengan alat
ukur current meter di hulu bendung dan mengukur tinggi air yang melimpas di crest bendung yang kemudian
data ini disimulasi menjadi data debit tersedia di lokasi. Data ini kemudian
dibandingkan dengan data debit observasi dari Dinas Pengairan dan hasil dari
perhitungan menggunakan Model F.J. Mock.
-
Mencari data untuk studi seperti data curah
hujan dan data klimatologi.
Selain survei lapangan, pada tahap ini juga dilakukan wawancara
dengan penduduk setempat tentang keadaan di sekitar sungai dan berbagai
permasalahan yang mencakup daerah studi, serta pencarian data yang terkait
yaitu data curah hujan, data klimatologi, data topografi, data debit sungai,
dan lain – lain.
2.
Tahap pra analisa data
Tahap yang dimaksud di sini adalah tahap persiapan
sebelum data – data akan di olah. Pada tahap ini hasil survei lapangan mengenai
koordinat posisi bendung dan stasiun hujan di plot di Peta Rupa Bumi, tujuannya
untuk menghitung morfometri DAS khususnya untuk mencari luas DAS dan panjang
sungai utama daerah studi dan mengetahui stasiun hujan yang berpengaruh
(Stasiun Hujan Wagir).
3.
Tahap analisa data
-
Analisa data curah hujan. Dilakukan analisa curah hujan titik (point rainfall), karena hanya satu
stasiun hujan saja yang berpengaruh.
-
Analisa data klimatologi. Dengan menganalisa data klimatologi (temperatur
udara, kelembaban, penyinaran matahari, dan kecepatan angin) menggunakan metode
Penmann, maka diperoleh data
evapotranspirasi potensial.
-
Analisa Ketersediaan Air. Dengan menganalisa data curah hujan dan
menghitung besarnya evapotranspirasi
potensial, maka perhitngan parameter – parameter dan ketersediaan air model F.J.
Mock dapat ditentukan. Perhitungan
parameter dan ketersediaan air dengan model F.J. Mock
lebih jelas dapat dilihat pada bab IV.
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis
Curah Hujan
Analisis curah hujan yang digunakan dalam perhitungan kali ini adalah
analisis curah hujan titk (point rainfall)
karena hanya satu stasiun hujan saja yang berpengaruh pada kondisi studi yakni
stasiun hujan Wagir. Data hujan yang di pakai adalah data hujan bulanan.
4.2 Evapotranspirasi
Potensial Cara Penmann
Besarnya evapotranspirasi potensial dihitung menggunakan metode Penmann, metode Blaney-Criddle, dan metode Radiasi.
Namun setelah melalui beberapa pertimbangan mengenai hasil yang berbeda – beda
antara ketiganya, maka di ambil metode Penmann
karena nilai kesalahan absolut relatifnya paling kecil di antara dua metode
yang lainnya.
Langkah – langkah perhitungan Evapotranspirasi Potensial
dengan menggunakan metode Penmann adalah sebagai berikut (di ambil contoh
bulan Januari) :
- Input data klimatologi yang meliputi suhu, kelembaban relatif, penyinaran matahari, dan kecepatan angin.
- Menentukan besarnya koefisien F1, F2, dan F3 menggunakan persamaan (2-10), (2-11), dan (2-13).
F1 =
=
= 0,314
Di mana A adalah
besarnya nilai slope tekanan uap berdasarkan suhu pada bulan Januari sebesar
23,7oC. Sedangkan S adalah data rata – rata lamanya penyinaran
matahari dalam satu bulan.
F2 =
=
= 1,958
Di mana B adalah
besarnya nilai radiasi benda hitam berdasarkan suhu pada bulan Januari sebesar
23,7oC. Sedangkan ed adalah nilai tekanan uap jenuh aktual.
F3 =
=
= 0,382
ETp = F1 .
R (1 - r) – F2 (0,1 +
0,9 S) + F3 (K + 0,01 w)
= 0,314 . 13,75 (1 – 0,2) – 1,958 (0,1 + 0,9. 0,454) + 0,382 (1 +
0,01.75,68)
= 97,502
mm/bln
Di mana R adalah angka angot yang besarnya ditentukan
oleh letak lintang stasiun klimatologi, r adalah besarnya koefisien refleksi,
dan K adalah koefisien evaporasi permukaan.
Perhitungan evapotranspirasi potensial untuk bulan
berikutnya di sajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan
Evapotranspirasi Potensial Metode Penmann
No
|
Bulan
|
ETp
|
(mm)
|
||
1
|
Jan
|
97.502
|
2
|
Feb
|
93.573
|
3
|
Mar
|
117.499
|
4
|
Apr
|
126.426
|
5
|
May
|
141.686
|
6
|
Jun
|
130.779
|
7
|
Jul
|
139.040
|
8
|
Aug
|
147.127
|
9
|
Sep
|
143.887
|
10
|
Oct
|
142.666
|
11
|
Nov
|
112.070
|
12
|
Dec
|
92.189
|
Sumber : Hasil Perhitungan
4. 3 Analisis
Model F.J. Mock
Langkah – langkah pendugaan debit aliran yang tersedia dengan model F.J.
Mock adalah sebagai berikut (di ambil
contoh bulan Januari) :
I.
Input data curah hujan bulanan
II.
Menentukan besarnya nilai evapotranspirasi
aktual (Eta)
1.
Input data Evapotranspirasi potensial (ETp) pada bulan Januari yang
di diperoleh dari perhitungan sebelumnya yakni sebesar 97,502 mm/bln.
2.
Menentukan besarnya parameter permukaan lahan
terbuka (m). Untuk lahan pertanian
yang di olah (sawah dan ladang) ditaksir harga m sebesar 50 %.
3.
= . (18 – 7) = 27,5
4.
E = ETp
. (m/20) . (18 - h)
= 97,502 . 0,275
= 26,813
5.
ETa = ETp - E
= 97,502 – 26,813
= 70,689 mm/bln
III.
Menentukan besarnya parameter keseimbangan
air dalam tanah
1.
Menghitung besarnya
air hujan yang mencapai permukaan tanah
(DS )
DS = P – ETa
= 114 – 70,689
=
43,311 mm/bln
2.
Menentukan besarnya kandungan kelembaban air
tanah. Jika nilai DS > 0, maka kandungan kelembaban air di dalam tanah
adalah 0, sebaliknya jika DS < 0, maka besarnya kandungan kelembaban air dalam
tanah adalah nilai DS itu sendiri, ini berarti bila harga DS positif (P
> ETa) maka air akan
masuk ke dalam tanah bila kapasitas kelembaban tanah belum terpenuhi, dan
sebaliknya akan melimpas bila kondisi tanah jenuh. Bila harga DS negatif (R
< ETa), sebagian air tanah akan
keluar dan terjadi kekurangan (deficit). Pada bulan Januari P > ETa sehingga DS > 0, oleh karena itu besarnya kandungan kelembaban
air tanah pada bulan Januari adalah 0.
3.
Menentukan parameter kapasitas kelembaban tanah
(SMC). Nilai SMC awal pada bulan Januari periode pertama ditaksir sebesar 250
mm. Untuk bulan / periode berikutnya, tergantung dari nilai kandungan
kelembaban air dalam tanah. Jika nilainya negatif, maka besarnya SMC pada bulan berikutnya merupakan
seleisih dari nilai SMC bulan /
periode sebelumnya dengan nilai DS pada bulan berikutnya.
4.
Menentukan besarnya kelebihan air di
permukaan tanah (WS). Besarnya WS tergantung dari nilai nilai DS. Jika DS > 0 artinya permukaan
tanah mendapat kelebihan air sebesar DS. Namun jika DS < 0 artinya permukaan
tanah tidak kelebihan air, justru
kandungan air tanahnya berkurang sebesar DS. Jadi pada bulan Januari periode pertama
nilai WS sama dengan nilai DS yakni sebesar 43,311 mm/bln.
IV.
Menentukan besarnya aliran dan tampungan air
tanah
1.
Menghitung besarnya
Infiltrasi (I).
I = WS . i
= 43,311 . 0,4
= 21,656 mm/bln
i adalah nilai parameter, yakni koefisien infiltrasi bersasarkan kondisi
porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Untuk daerah ini ditaksir
harga i sebesar 0,5.
2.
0,5 . (1 + k) I = 0,5 . (1 + 0,7) . 21,656 = 18,407 mm/bln
k adalah besarnya parameter, yakni faktor resesi aliran air tanah yang
ditaksir sebesar 0,7
3.
k . V (n-1) = 0,7 . 1000 = 700
V (n-1) adalah
kandungan air tanah pada bulan sebelumnya. Untuk penentuan pada awal bulan (initial storage) ditaksir sebesar 1000
mm.
4.
Menentukan besarnya volume penyimpanan air
tanah (Vn)
Vn = k . Vn-1 + ½
(1+k). I
= 700
+ 18,407
= 718,407 mm/bln
5.
Menentukan besarnya perubahan volume air (dVn)
dVn = Vn
- Vn-1
= 718,407
– 1000
= -281,593
mm/bln
6.
Menentukan besarnya aliran dasar (BF)
BF = I -
dVn
= 21,656
– (-281,593)
= 303,248
mm/bln
7.
Menentukan besarnya aliran permukaan (DRo)
DRo = WS – I
= 43,311
– 21,656
= 21,656
mm/bln
8.
Menentukan besarnya aliran (Ro)
Ro = BF + DRo
= 303,248 + 21,656
= 324,904 mm/bln
V.
Menentukan besarnya debit aliran sungai pada
DAS
Q =
=
= 0,632 m3/dt
Jadi besarnya debit aliran sungai yang mengalir pada daerah
tangkapan air Bendung Akir pada Bulan Januari adalah sebesar 0,632 m3/dt.
Parameterisasi Model F.J.
Mock di lakukan dengan cara mencoba – coban nilai dari parameter Model F.J. Mock seperti singkapan lahan (m),
koefisien infiltrasi (i), kapasitas
kelembaban tanah (SMC), penyimpanan
awal (IS), dan faktor resesi aliran
air tanah (k) hingga mendapatkan Q model (debit hasil pendugaan
Model F.J. Mock) yang nilainya mendekati nilai Q observasi (debit
hasil pengukuran lapangan). Hasil parameterisasi Model F.J. Mock disajikan pada tabel 4.2 dan hasil pendugaan komponen
neraca air DAS Akir menggunakan Model F.J.
Mock di sajikan pada tabel 4.3
Tabel 4.2 Parameter - parameter Model F.J. Mock Pada DAS Akir
No
|
Parameter
|
Keterangan
|
Besar
|
1
|
m
|
Singkapan lahan
|
50.0
|
2
|
i
|
Koefisien
infiltrasi
|
0.5
|
3
|
SMC
|
Kapasitas kelembaban tanah
|
250.0
|
4
|
IS
|
Penyimpanan awal
|
1000.0
|
5
|
k
|
Faktor resesi aliran air
tanah
|
0.7
|
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 4.3 Komponen Neraca Air DAS Akir
Menggunakan Model F.J. Mock
No
|
Bulan
|
P
|
ETa
|
GWS
|
BF
|
Ro
|
Q mod
|
KAR
|
(mm)
|
(mm)
|
(mm)
|
(mm)
|
(mm)
|
(mm)
|
(%)
|
||
1
|
Jan
|
114
|
70.689
|
0.000
|
303.248
|
21.656
|
324.904
|
0.012
|
2
|
Feb
|
295
|
84.216
|
0.000
|
231.331
|
105.392
|
336.723
|
0.138
|
3
|
Mar
|
409
|
117.499
|
0.000
|
199.603
|
145.750
|
345.353
|
0.177
|
4
|
Apr
|
314
|
120.105
|
0.000
|
176.127
|
96.948
|
273.074
|
0.215
|
5
|
May
|
70
|
92.096
|
-22.096
|
137.831
|
0.000
|
137.831
|
0.375
|
6
|
Jun
|
173
|
94.815
|
0.000
|
102.346
|
39.093
|
141.438
|
0.223
|
7
|
Jul
|
25
|
83.424
|
-58.424
|
77.506
|
0.000
|
77.506
|
0.585
|
8
|
Aug
|
0
|
80.920
|
-80.920
|
54.254
|
0.000
|
54.254
|
0.713
|
9
|
Sep
|
0
|
79.138
|
-79.138
|
37.978
|
0.000
|
37.978
|
0.737
|
10
|
Oct
|
31
|
85.599
|
-54.599
|
26.584
|
0.000
|
26.584
|
0.662
|
11
|
Nov
|
330
|
100.863
|
0.000
|
35.794
|
114.568
|
150.363
|
0.153
|
12
|
Dec
|
607
|
103.712
|
0.000
|
79.988
|
251.644
|
331.632
|
0.146
|
Sumber : Hasil Perhitungan
Rata – rata KAR = 0,34 = 34 %
Keterangan :
ETa =
Evapotranspirasi aktual
GWS = Tampungan air tanah
BF = Aliran dasar
Ro = Aliran
permukaan
Q mod =
Debit pendugaan dengan Model F.J. Mock
KAR = Kesalahan
absolut relatif
|
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Debit Aliran Sungai DAS
Akir Hasil Pendugaan Model F.J. Mock dan Debit Hasil Pengamatan (Penggunaan
Lahan Eksisting Tahun 2007)
|
Gambar 4.2 Grafik Komponen Neraca Air DAS Akir
Menggunakan Model F.J. Mock Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Tahun 2007
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan seluruh rangkaian
kegiatan studi ini, maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut.
1.
Besar parameter-parameter Model F.J. Mock untuk Daerah Tangkapan Air
Bendung Akir adalah sebagai berikut.
-
m = 50 %
-
i = 0,5
-
SMC = 250
-
IS = 1000
-
k = 0,7
- Tingkat validitas atau akurasi yang ditunjukkan dengan Kesalahan Absolut Rata-rata (KAR) pada tahap parameterisasi Model F.J. Mock ini adalah sebesar 34,00 %.
- Hasil pendugaan komponen neraca air pada Daerah Tangkapan Air Bendung Akir pada tahun 2007 adalah sebagai berikut :
-
Hujan (P) =
2368,00 mm
-
Evapotranspirasi Aktual (ETa) =
1113,07 mm
-
Limpasan Langsung (DRo) = 775,05 mm
-
Aliran Air Tanah (GWS) = -295,176
mm
-
Aliran Dasar (BF) =
1462,59 mm
-
Debit Aliran Sungai (Q) =
2237,64 mm
5. 2 Saran
1.
Model F.J.
Mock ini perlu dikembangkan lebih lanjut pada berbagai DAS di Indonesia
sebagai alat perencanaan pengelolaan DAS.
2.
Untuk memperoleh hasil pemodelan yang lebih
mempresentasikan kondisi di lapangan, maka diperlukan pengukuran dan pengamatan
langsung di lapangan
3.
Data yang digunakan dalam pemodelan sebaiknya
sedapat mungkin berasal dari lokasi DAS yang bersangkutan, misalnya stasiun
hujan dan stasiun klimatologi berada di dalam DAS tersebut. Data tersebut harus
juga bersesuaian antara periode pencatatan data input (data hujan dan data
iklim) dengan data debit yang digunakan untuk kalibrasi, agar mendapatkan hasil
pemodelan yang mempresentasikan kondisi lapangan sesunguhnya.
4.
Semakin panjang periode data input yang
digunakan, semakin menghasilkan nilai kesalahan hasil pemodelan terhadap data
terukur yang kecil.
DAFTAR
PUSTAKA
Asdak, C. (2002). Hidrologi
dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hanafi, Imam. (2008). Aplikasi
Model SWMHMS untuk Menduga Debit Aliran Sungai (Studi Kasus DAS Ciliman).
Skripsi Sarjana Teknik. Tidak
Diterbitkan. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang.
Mock, F.J., (1973). Basic Study Prepared
for the FAO / UNDP
Land Capability Apprasial
Project. Tidak Diterbitkan. Bogor Indonesia
Rivani, Achmad. (2005). Analisis Neraca Air
DAS Welang Menggunakan Model NRECA dan Model SWMHMS. Skripsi
Sarjana Teknik. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
Malang.
Sosrodarsono,
S dan K, Takeda. (1976). Hidrologi
untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Sri
Harto Br. (2000). Hidrologi
(Teori, Masalah, Penyelesaian). PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suhardjono.
(1994). Kebutuhan Air Tanaman. Institut Teknologi Nasional Malang Press. Malang.
Suripin, (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang
Berkelanjutan. Andi Yogyakarta. Yogyakarta.